Sabtu, 05 Desember 2009

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Bab I Pendahuluan Diakui atau tidak, kualitas kepribadian anak didik kita belakangan ini kian memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan mereka adalah bukti bahwa pendidikan kita telah gagal membentukakhlak anak didik. Pendidikan kita selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan. Kita lihat berapa banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampak dunia pendidikan di Indonesia masih dipenuhi kemunafikan karena yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja. Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan. Pendidikan kita juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah. Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S. Adzariyaat ayat 34:      34. Yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang yang melampaui batas". Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. 1 Bab II Landasan Filosofis Pendidikan A.Pengertian Filsafat. Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".2 Dari pengertian ini saja, orang dapat memahami bahwa tujuan filsafat, pada mulanya adalah mulia. Yakni, memuat orang cinta kebijaksanaan, dan seterusnya menjadi bijaksana. Filsafat merupakan hasil pemikiran yang didasarkan pada rasio (akal), dan karena rasio (akal) adalah anugerah Allah, maka capaiannya kadang-kadang bisa benar. Tetapi, karena ia bukan wahyu, maka akal pun bisa keliru. Dengan demikian, capaian filsafat ada yang baik, dan ada pula yang buruk. Yang baik, misalnya, ketika Thales mengatakan bahwa segala sesuatu ini berasal dari air, jauh mendahului Alquran.                      30. Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? Thales mengatakannya sekira abad ke-6 SM, sedangkan Alquran mengemukakannya pada abad ke-6 SM. Herakleitos mengatakan bahwa, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berubah dan terus mengalir bagaikan sungai (panta rei), dan Alquran mengatakan bahwa alam semesta ini fana.(Q.S. Ar-Rahman :26-27)             26. Semua yang ada di bumi itu akan binasa. 27. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Fana adalah lawan dari baqa, dan jika baqa berarti kekal (tidak berubah, abadi), maka fana berarti tidak kekal, alias rusak. Lalu, ketika Plato menegaskan adanya alam idea, maka pandangannya ini dapat mendukung teori tentang wahyu. Di dalam contoh-contoh di atas kita menemukan bahwa, pada kali-kali tertentu apa yang dicapai filsafat dibenarkan oleh wahyu (agama), dan ada kesesuaian antara keduanya. Tetapi, pada kali lain, banyak pula ajaran-ajaran filsafat yang bertentangan dengan wahyu (agama). Dengan demikian, sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu lain, produk filsafat tidak semuanya baik, tetapi ada yang buruk. Sisi buruknya bisa sangat berbahaya. Sebab filsafat berbicara tentang berbagai persoalan penting, antara lain tentang manusia, agama, dan Tuhan. Liberalisame, ateisme, Marxisme, komunisme, adalah sekadar beberapa contoh produk filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, beberapa pemikiran filsafat memang dapat membahayakan akidah, khususnya akidah orang awam. Karena itu mereka harus dilindungi.3 B.Filsafat Pendidikan Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar Pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat Pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Beberapa aliran filsafat pendidikan; 1.Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme. 2.Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan 3.Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.  Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. C.Kebutuhan Akan Filsafat Kebutuhan Akan Filsafat Pendidikan Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara almiah adalah kedewasaan, sebab potensi manusia yang paling alamiah adalah bertumbuh menuju tingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan dapat terwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia bersangkutan memungkinkan untuk perkembangan tersebut, misalnya iklim, makanan, kesehatan, dan keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedewasaan yang yang bagaimanakah yang diinginkan dicapai oleh manusia, apakah kedewasaan biologis-jasmaniah, atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), atau moral (tanggung jawab dan kesadaran normatif), atau kesemuanya. Persoalan ini adalah persoalan yang amat mendasar, yang berkaitan langsung dengan sisitem nilai dan standar normatis sebuah masyarakat (Noor, 196). Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu dari aspek kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan menerima pendidikan. Oleh karena itu pendidikan memerlukan filsafat. Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan uncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalmaan maupun fakta faktual, dan tidak memeungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan selalu berbungan langsung dengan tujuan kehidupan individu dan masyarakat penyelenggara pendidikan. Hubungan antar filsafat dengan pendidikan adalah, filsafat menelaah suatu realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karateristik filsafi yang radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup manusia yang merupakan hasil dari studi filsafat, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan. Nantinya bangun sistem pendidikan dan praktek pendidikan akan dilaksanaka berorientasi kepada tujuan pendidikan ini. Brubacher (1950) (Sadulloh, 2003) mengemukakan hubungan antar filsafat dengan filsafat pendidikan: bahwa filsafat tidak hanya melahirkan ilmu atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Bahkan Jhon Dewey berpendapat bahwa filsafat adalah teori umum pendidikan. Filsafat pendidikan haruslah minimal dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam pendidikan. Sadulloh merumuskan empat pertanyaan mdasar pendidikan sebagai berikut. 1. Apakah pendidikan itu? 2. Mengapa manusia harus melaksanakan pendidikan? 3. Apakah yang seharusnya dicapai dalam proses pendidikan? 4. Dengan cara bagaimana cita-cita pendidikan yang tersurat maupun yang etrsirat dapat dicapai? Jawaban atas keempat pertanyaan tersebut akan sangat tergantung dan akan ditentukan oleh pandangan hidup dan tujuan hidup manusia, baik secara individu maupun secara bersama-sama (masyarakat/ bangsa). Filsafat pendidikan tidak hanya terbatas pada fakta faktual, tetapi filsafat pendidikan harus sampai pada penyelasian tuntas tentang baik dan buruk, tentang persyaratan hidup sempurna, tentang bentuk kehidupan individual maupun kehidupan sosial yang baik dan sempurna. Ini berarti pendidikan adalah pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat. Dengan kata lain filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelengaraan pendidikan. Jadi peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuk yang lebih terperinci lagi, filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk merealisasikan ide-ide ideal dari filsafat menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan pembentukan kepribadian. Hal senada diuangkapkan oleh Brauner: Education and philosophy are inseparable because the end of education is the end of philosophy (wisdom), and the means of philosophy is the means of education inquiry, which alone can lead to wisdom. Ide senada juga dikemukakan oleh Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Educations”, yang berbunyi sebagai berikut (dalam Noor, 1986). Philosophy and education are, then, but two stages of the same endeavor; philosophizing to thing out better values and idealism education to realize these in life, in human personality. Education, acting out of the best direction philosophizing can give, tries, beginning primarily with the young, to lead people to build criticized values into their characters, and in this way to get the highest ideals of philosophy progressively embodied an their lives.4 D.Filsafat Pendidikan Islam Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam. Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut: 1)Dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan ruh (spirit) Islam; 2)Berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; 3)Bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); 4)Pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; 5)Bersifat universal dengan standar keilmuan; 6)Selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam; 7)Bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan 8)Proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas. Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam.5 E.Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan. 1. Implikasi Bagi Guru      Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.      Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan  harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.      Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya. Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina. Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih  belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia. 2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan             Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.            Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah  pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif. Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan  yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.6 Penutup            Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan.            Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.            Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dfan tenaga kependidikan  harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar